WARTA IMAM

Suara Hati

Dalam lubuk hati manusia yang terdalam, terdapat apa yang disebut suara hati. Suara hati memerintahkan manusia untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan menolak apa yang jahat. Suara hati mewajibkan orang untuk melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab sebagai manusia atas apa yang dihadapi atau dialami.

Penindasan atau ketidakadilan tidak hanya secara fisik, tetapi juga sering menimpa batin, hati rakyat kecil. Mereka lalu menjadi tertindas lahir batin. Pengabdi keadilan hendaknya memahami adanya penindasan lahir batin ini. Manakah penindasan batin yang terjadi?

Dalam lubuk hati manusia yang terdalam, terdapat apa yang disebut suara hati. Manusia mengalami adanya hukum dalam hati yang tidak ia ciptakan sendiri, yang harus ia taati. Suara hati itu memerintahkan manusia untuk mencintai dan melaksanakan apa yang baik, dan menolak apa yang jahat. Suara hati mewajibkan orang untuk melaksanakan apa yang menjadi tanggung jawab sebagai manusia atas apa yang dihadapi atau dialami. Bagi orang beriman, manusia mengalami dalam suara hatinya Allah yang selalu menyapanya. Manusia mengalami dirinya dituntut untuk selalu setia dan taat pada suara hatinya. Harga diri dan kedamaian hatinya tergantung dari ketaatannya pada suara hati. Suara hati bisa menjadi peka dalam mendengarkan “suara” Ilahi, tetapi dapat juga menjadi tumpul karena kebiasaan berdosa. Ada tiga dimensi dari suara hati.

Suara Hati
Suara Hati

Dimensi pertama ialah kesadaran akan sistem nilai-nilai. Karenanya, orang akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang dipegangnya. Membedakan apa yang baik dan yang jahat menunjukkan ada sistem nilai pada diri orang. Dimensi kedua adalah usaha pencarian tindakan yang benar. Orang dituntut untuk mencari kebenaran, sebelum ia bertindak. Dimensi ketiga, orang sampai pada keputusan konkrit apa yang akan ia ambil.

Baca juga :

Pengabdi Keadilan dan Rakyat Kecil

Kesucian Hidup Kaum Miskin

Sistem Nilai

Perbuatan seseorang dalam menghadapi sesuatu yang sama sering berbeda dengan orang lain. Perbedaan ini disebabkan oleh sistem nilai yang dimiliki orang. Pada sistem nilai seseorang terdapat hierarki nilai yang menunjukkan mana nilai yang tertinggi baginya dan mana yang terendah. Pelanggaran terhadap nilai yang tinggi diyakini sebagai dosa besar, sedang pelanggaran terhadap nilai yang rendah sebagai dosa ringan.

Sistem nilai yang dimiliki oleh seseorang berasal dari pendidikan yang ia terima, entah dari keluarganya, sekolah, ataupun lingkungan serta masyarakat. Sistem nilai seseorang menjadi pedoman hidupnya, sejauh ia berhasil membatinkan nilai-nilai yang ia terima. Proses pembatinan ini menuntut waktu dan sering ditandai jatuh bangun.

Sistem nilai seseorang bisa berubah selaras dengan perkembangan hidupnya dan ruang lingkup pergaulannya.

Baca juga :

Pengabdi Keadilan dan Ikatan Primordial

Pengabdi Keadilan, Ikan dan Kail

Informasi

Dimensi kedua suara hati adalah usaha pencarian mana yang benar. Untuk ini, seseorang mempunyai hak dan kewajiban untuk mengumpulkan dan mecari berbagai macam informasi, yang kemudian, ia olah dan timbang-timbang sehingga perbuatanan yang diputuskannya mempunyai dasar yang kuat.

Ia wajib mencari informasi, dan masyarakat diharapkan membantu warganya untuk mendapat informasi-informasi yang perlu. Di sini ada masalah yang sangat sulit dan rumit. Informasi-informasi yang ada di masyarakat ini memuat isi dan misi dari sumber informasi. Informasi-informasi yang ada tidak bebas nilai dan tidak bebas dari kepentingan pihak yang memberi informasi.

Kenyataannya yang memonopoli atau menguasai informasi adalah orang, kelompok, negara yang memiliki kekuasaan politik, ekonomi dan militer. Informasi yang ada pun cenderung menguntungkan mereka. Jarang diberitakan informasi dari mereka yang lemah dan marginal, juga informasi yang menguntungkan kelompok masyarakat yang lemah, marginal dan tertindas.

Demikian, sebenarnya ada perang informasi, yaitu antara pihak penindas dan pihak yang tertindas. Sudah dapat diduga bahwa informasi yang demikian adalah informasi dari pihak penindas berkat dukungan kekuasaan yang mereka miliki. Merekapun, karena kekuasaan yang mereka miliki, akan selalu mematikan informasi yang merugikan mereka, dan yang sebenarnya menguntungkan pihak yang lemah.

Sangatlah penting warga masyarakat mendapat informasi tentang kehidupan politik, sebab kegiatan politik merupakan kegiatan menata kehidupan seluruh warga masyarakat demi terwujudnya kesejahteraan umum. Sayangnya, pihak-pihak yang kuat, sudah mapan, dan diuntungkan akan memperketat tersalurnya informasi politik agar informasi yang ada tidak membahayakan kepentingan mereka. Akibatnya putusan moral yang diambil menjadi tidak semestinya, karena mereka hanya mendengar informasi, yang menjadi dasar keputusannya, dari satu pihak yaitu kelompok anggota masyarakat yang memiliki kekuasaan. Dengan demikian, keputusan moral warga masyarakat akan menguntungkan kedudukan mereka yang berkuasa. Sejauh warga masyarakat telah berusaha untuk mendapat informasi, maka keputusan moral mereka tidak dapat disalahkan.

Sebaliknya, kesalahan ada pada pihak mereka yang memonopoli informasi demi kepentingan mereka sendiri, sebab mereka tidak cukup membantu warga masyarakat mendapatkan informasi yang merupakan pedoman suara hati untuk mengambil keputusan. Demikianlah, dalam masyarakat yang timpang informasi, suara hati warga masyarakat tidak dapat berkembang dan berbicara secara benar.

Baca juga :

Membangun Paguyuban Kaum Marginal

Konflik Klas dan Perubahan Sosial

Kebebasan

Keputusan suara hati yang benar menuntut adanya kebebasan. Dalam kebebaan yang relatif besar, orang akan dapat mengambil keputusan sesuai dengan suara hatinya. Martabat manusia menuntut agar manusia bertindak menurut pilihannya yang dipurtuskan secara sadar dan bebas. Ini berarti ia digerakkan dan didorong secara pribadi dari dalam, dan bukan karena perasaan-perasaan atau keinginan yang tak teratur, atau semata-mata karena paksaan dari luar.

Orang sering dibuat mengkhianati suara hatinya, oleh adanya ancaman, teror mental, intimidasi, orang menjadi tidak bebas, sehingga ia tidak mungkin mengambil keputusan sesuai dengan suara hatinya. Masyarakat dapat dikatakan sehat, kalau masyarakat memberikan ruang lingkup kebebasan bagi warganya untuk mentaati suara hatinya.

Di dalam masyarakat kita, label-label yang diberikan kepada orang atau kelompok seperti oposan, tidak bersih diri memberi dampak ketakutan, sehingga keputusan moral anggota masyarakat tidak sesuai dengan suara hati mereka. Padahal, keputusan moral, yang seharusnya, hanya mungkin terwujud dalam situasi yang bebas dari segala ancaman dan ketakutan. Motiasi kepentingan politik yang menggunakan aksi teror atau intimidasi tidaklah dapat dibenarkan secara moral, karena sangat membatasi adanya keputusan moral yang sesuai dengan suara hati.

Di antara saksi-saksi dalam perhitungan suara pemilu ada yang dipaksa melanggar sumpah sebagai saksi dengan harus menandatangani hasil perhitungan suara yang direkayasa. Hal ini merupakan penindasan terhadap suara hati seseorang. Begitu juga acaman-ancaman yang memaksa orang untuk memilih satu organisasi sosial politik peserta pemilu.

Masyarakat diatur seakan-akan tetap dalam situasi darurat, sehingga kebebasan warga masyarakat sangat dibatasi, dan suasana menakutkan diciptakan. Adalah berbeda sama sekali kualitas keputusan moral seseorang dalam suasana darurat dan serba menakutkan dengan kualitas keputusan moral seseorang dalam suasana kebebasan tanpa rasa takut. Masyarakat baru dapat dikatakan sehat, kalau masyarakat memberikan ruang lingkup kebebasan bagi warganya untuk menaati suara hati.

Dalam rangka menciptakan suatu masyarakat yang memberi kebebasan bagi warganya untuk mengambil keputusan sesuai dengan suara hati, sangat relean penggarisan kebijaksanaan yang diberikan oleh Presiden Soeharto kepada peserta kursus singkat Angkatan III Lemhans di Bina Graha 3 Agustus 1993. Beliau menegaskan : “Prakarsa dan kreatiitas masyarakat hanya mungkin tumbuh dan berkembang, antara lain dalam suasana yang nyaman dan yang bebas dari cengkraman ketakutan.”

Lebih lanjut Presiden mengingatkan, agar semua pihak pandai-pandai menerapkan dan menempatkan secara proporsional pendekatan pertahanan keamanan dan perndekatan kesejahteraan. “Hanya dalam keadaan darurat, dalam keadaan luar biasa, pendekatan kesejahteraan mengalah terhadap pendekatan hankam. Ini pun hanya berlaku dalam waktu sangat terbatas” (Kompas 4/8/93).

Pendekatan kesejahteraan itulah yang harus ditempuh, sebab pendekatan kesejahteraan akan memberi lingkup kebebasan warga masyarakat untuk mengambil keputusan sesuai dengan suara hatinya. Sebaliknya, pendekatan hankam biasanya lebih menonjolkan unsur kekerasan daripada unsur hukum.

Masyarakat berharap agar hari-hari mendatang, pendekatan kesejahteraan sungguh menjadi kenyataan, direalisir oleh aparat eksekutif di tingkat atas sampai di tingkat bawah.

Baca juga :

Memerdekakan Kelompok Marginal

Pendidikan Politik

Penderitaan

Ketaatan kepada suara hati sering membawa resiko penderitaan. Seorang gadis yang hamil diluar nikah taat kepada suara hatinya untuk tidak menggugurklan kandungannya. Ia siap menerima resiko dicela, ditertawakan, dan dipermalukan.

Seorang perawat rela keluar dari poliklinik tempat kerjanya, karena ia tidak mau diajak oleh dokter untuk menggugurkan kandungan pasien yang datang. Seorang saksi di TPS pada pemilu tetap menolak untuk menandatangani hasil perhitungan suara karena ia menyaksikan kecurangan-kecurangan yang ada. Ia tegar menghadapi tekanan dan ancaman. Penderitaan karena taat pada suara hati oleh mereka telah diantisipasi dan sungguh disadari. Karenanya, mereka dapat dengan tenang dan gembira menanggungnya, sebab mereka yakin akan mendapat kebahagiaan, kepuasan batin kalau mentaati suara hati. Ketidaktaatan terhadap suara hati mereka yakini sebagai dosa dan membuahkan ketidaktentraman hati.

Akan tetapi, tidak semestinya penderitaan itu harus ditanggung oleh warga masyarakat karena taat pada suara hati. Masyarakat yang sehat harus memberikan kebebasan kepada warganya untuk bertindak sesuai dengan suara hatinya. Tidak perlu orang demi ketaatan kepada suara hati, harus menderita.

Baca juga : Kesucian Politik

Tulisan ini pernah dimuat di Harian KomPas, 25 Februari 1995.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *