Pendidikan Politik
Pendidikan politik diperlukan bagi rakyat kecil guna menyadarkan mereka untuk menanggalkan kesadaran yang salah tentang realitas politik.
oleh Romo Aloysius Suryawasita, SJ
Telah diuraikan dalam artikel pertama bahwa sebab kemiskinan rakyat kecil adalah adanya struktur sosial yang tidak adil. Ada aturan kompetisi dalam masyarakat yang tidak adil yang menyebabkan golongan terbesar dalam masyarakat kalah dan menjadi miskin. Struktur sosial yang tidak adil itu disebabkan karena golongan terbesar anggota masyarakat tidak diikutsertakan dalam membangun struktur sosial. Masalah kemiskinan lalu menjadi masalah ketidakadilan. Maka perlulah kelompok anggota masyarakat yang miskin ikut serta menciptakan struktur sosial yang adil.
Salah satu kegiatan penting yang menentukan struktur sosial, yang bersifat memperbaiki atau mengubah struktur sosial adalah kegiatan politik. Sebab, kegiatan politik adalah kegiatan masyarakat untuk membuat berbagai macam pranata atau aturan yang mengatur keseluruhan kegiatan masyarakat. Demikian, kegiatan politik sangat berhubungan dengan kegiatan yang membuat berbagai macam pranata atau aturan. Perubahan struktur sosial hanya mungkin melalui perubahan politik. Kegiatan politik menentukan perubahan ekonomi dan sosial. Mengingat ini semua, maka pengabdi keadilan harus menyadarkan rakyat kecil bahwa pentinglah mereka berpolitik.
Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Rakyat Kecil
Dalam rangka penyadaran ini, perlulah rakyat kecil mendapat pendidikan politik. Salah satu unsur pendidikan politik adalah membantu rakyat kecil untuk menanggalkan kesadaran-kesadaran yang salah tentang realitas, khususnya realitas politik. Kesadaran yang salah itu dibuat oleh apa yang disebut sebagai ideologi peioratif. Ideologi adalah gagasan-gagasan, keyakinan yang hidup dalam masyarakat. Ideologi peioratif adalah gagasan, keyakinan yang membuahkan kesadaran keliru pada masyarakat.
Berikut ini berbagai ideologi peioratif yang perlu disadari oleh pengabdi keadilan dan hendaknya diberitahukan kepada rakyat kecil.
Baca juga : Kesucian Hidup Kaum Miskin
Das Sollen = Das Sein
Ideologi ini cenderung menyamakan cita-cita dengan kenyataan. Apa yang dicita-citakan atau diinginkan diberi kesan kuat seakan-akan sudah menjadi kenyataan. Das Sollen (apa yang seharusnya) dianggap sebagai Das Sein(sudah terealisir). Pengabdi keadilan sendiri harus jeli melihat kesenjangan yang ada antara yang seharusnya atau yang dicita-citakan dan yang menjadi kenyataan. Berikut ini beberapa contoh Das Sollen yang disamakan dengan Das Sein.
Umpama pemilu dikatakan sebagai pesta demokrasi. Pernyataan yang betul harus berbunyi “Pemilu seharusnya merupakan pesta demokrasi”, tetapi kata “seharusnya” sering dihapus sehingga berbunyi “Pemilu adalah pesta demokrasi”.
Peserta pendidikan politik diajak untuk menganalisis apakah dalam kenyataan, pemilu sungguh merupakan pesta demokrasi ataukah pemilu sebagai pesta demokrasi masih merupakan cita-cita.
Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Ikatan Primordial
Contoh lain adalah pernyataan “Kedaulatan di tangan rakyat”. Pernyataan yang tepat berbunyi “Kedaulatan seharusnya di tangan rakyat”, tetapi kata “Seharusnya” dihapus. Hal ini sering diucapkan dalam berbagai pidato, disiarkan oleh radio dan televisi sehingga rakyat yang tidak kritis berpendapat bahwa kedaulatan dalam kenyataan sungguh-sungguh di tangan rakyat. Maka untuk berpikir kritis, peserta pendidikan politik harus diajak berpikir, memilah-milah, atau membuat pembedaan bahwa Das Sollen tidak sama dengan Das Sein. Untuk ini, pengabdi keadilan harus sungguh mengetahui praksis kehidupan politik yang ada sedetail mungkin.
Adalah sangat merugikan kalau dalam pendidikan politik pengabdi keadilan hanya secara sepintas menerangkan, umpamanya UUD yang ada. Dalam mempelajari bersama UUD, peserta pendidikan politik diajak untuk terus menyadari bahwa pernyataan-pernyataan yang tertuang di dalam UUD adalah pernyataan-pernyataan normatif dan bukan pernyataan faktual.
Karena merupakan pernyataan-pernyataan normatif, maka UUD seharusnya justru harus dipakai sebagai dasar penilaian terhadap semua produk undang-undang atau aturan pemerintah yang ada. Lalu, muncullah perbedaan tafsir antara kelompok yang mempertahankan status quo dan kelompok yang menginginkan perubahan. Di sinilah peranan Mahkamah Agung diuji untuk melakukan “Iudicial Review” (memeriksa undang-undang). Yang mempertahankan status quo, di mana lembaga eksekutif sangat dominan, cenderung memperkecil peranan mahkamah agung agar semua undang-undang atau peraturan yang ada dianggap sesuai dengan UUD.
Baca juga : Pengabdi Keadilan, Ikan vs Kail
Nasionalisme Sempit
Nasionalisme sempit adalah ideologi peioratif lain. Nasionalisme sempit terlalu mengagung-agungkan diri sebagai suatu bangsa, penguasa dan pemerintah yang ada merasa dirinya sungguh lembaga yang mengusahakan kesejahteraan rakyat. Padahal pernyataan yang benar adalah bahwa pemerintah seharusnya mengusahakan kesejahteraan rakyat. Kalau ada masalah dalam negeri, masalah itu lalu direduksi sebagai masalah yang ditimbulkan oleh negara lain. Dalam arti ini ucapan “Right or wrong is my country”, termasuk ideologi peioratif. Akibat ideologi ini, sangat jarang atau hampir tabu menyampaikan kritik-kritik terhadap yang berkuasa. Menyampaikan kritik dalam negeri saja dipersulit, apalagi kalau kritik itu disampaikan dalam forum internasional di luar negeri.
Baca juga : Membangun Paguyuban Kaum Marginal
Kepentingan Umum
Ideologi ini menyamakan kepentingan sub-kelompok atau orang tertentu dengan kepentingan umum. Untuk mencapai tujuannya, kelompok atau orang tertentu mengatasnamakan tujuan atau proyeknya sebagai kepentingan umum. Dengan demikian, kepentingan atau tujuan ekonomis atau politis suatu kelompok mendapat dukungan karena disampaikan sebagai kepentingan umum. Akibatnya, kebanyakan warga masyarakat tanpa sadar dirugikan. Salah satu cara untuk menyamakan kepentingan sub-kelompok atau orang tertentu dengan kepentingan umum ialah dengan menggugah rasa kebangsaan murahan. Umpama dibuat slogan, “Inilah jalan layang terpanjang yang berhasil dibangun oleh putra-putri bangsa sendiri.”
Itulah salah satu contoh bagaimana seorang pengabdi keadilan menganalisis institusi politik yang ada. Hal ini tidak mudah dilakukan. Tetapi setiap pengabdi keadilan mampu menganalisis politik. Tidak setiap pengabdi keadilan mampu menganalisis sistem kegiatan ekonomi yang ada atau menganalisis sistem dari institusi-institusi lain. Maka perlu adanya kerja sama.
Baca juga :
Konflik Klas Dan Perubahan Sosial
Memerdekakan Kelompok Marginal
Tulisan ini pernah dimuat di Harian KomPas, 16 Februari 1994.
Semoga setiap insan berani mengedepankan hal yang baik & benar.