WARTA PAROKI

Paradoks Peziarahan Hidup

JagoKomSos-‘Peziarahan untuk membentuk iman Kristiani.’ Demikianlah tema renungan atau homili pada Perayaan Ekaristi Hari Minggu Biasa XII di Gereja Katolik Paroki Santo Yusup Ambarawa pada hari Minggu, 20 Juni 2021.

Mengingat Pandemi Virus Corona yang kembali merebak di wilayah Ambarawa dan sekitarnya, Perayaan Ekaristi yang dipimpin oleh Romo Agustinus Budi Nugroho SJ ini diselenggarakan hanya secara online dan tanpa kehadiran umat. Hanya beberapa petugas khusus yang membantu pelaksanaan misa kali ini, yaitu lektor, paduan suara, organis dan Tim Pelayanan Komunikasi Sosial yang menyiarkan Perayaan Ekaristi ini melalui live streaming.

Masih dalam rangkaian Tahun Ignasian, Romo Agustinus Budi Nugroho SJ membuka Perayaan Ekaristi ini dengan paradoks peziarahan hidup Santo Ignatius Loyola. Romo Budi mengingatkan kembali nilai-nilai hidup serta keimanan Santo Ignatius Loyola 500 tahun silam.

Baca juga : Perayaan Ekaristi Tahun Ignasian

Mengutip dari autobiografi Ignatius Loyola, ‘Aku mau menghidupi keutamaan Kristiani’, Romo Budi memaparkan perihal tiga keutamaan Kristiani,

“Ada tiga keutamaan Kristiani yang mau dihidupi dan dihayati oleh Ignatius Loyola dalam perjalanannya ke Yerusalem, yaitu iman, harapan dan kasih. Secara khusus yang sangat mencolok dalam peziarahan itu adalah bertumbuhnya iman ataupun kepercayaan karena Ignatius Loyola tidak mengandalkan apapun kecuali Allah semata.”

Sebagaimana dikilas-balikan oleh Romo Budi, Ignatius Loyola menanggalkan tiga simbol dari masa lalunya, yaitu kuda, pedang dan baju zirah atau pakaian keprajuritannya, kemudian justru menggantinya dengan karung goni untuk memulai peziarahannya sebagai seorang peziarah yang miskin.

Tentu bukanlah hal yang mudah bagi Ignatius Loyola. Semua yang dicita-citakan pada mulanya ternyata bertolak-belakang dengan fakta yang dialami setelah permenungan-penemuan panggilannya. Inilah yang disebut sebagai Paradoks Peziarahan Hidup.

Kilas Balik Santo Ignatius Loyala

Perjalanan spiritual Ignatius Loyola berawal dari Pamplona, yaitu sebuah benteng yang dipertahankan oleh Ignatius Loyola dan prajurit-prajurit Spanyol dari serbuan tentara Perancis. Kendati berusaha mati-matian dalam mempertahankannya, namun karena kalah jumlah pasukan, pada akhirnya mereka menyerah. Tak hanya kalah, bahkan kaki Ignatius Loyola terkena peluru meriam. Inilah titik awal pertobatan Ignatius Loyola.

Karena terluka di Pamplona, Ignatius dibawa pulang ke Puri Loyola, tempat keluarga besarnya berada, untuk penyembuhan. Kakinya dioperasi agar pulih seperti sedia kala. Dalam masa penyembuhan itu, Ignatius Loyola membaca dua buku tentang Hidup Kristus dan Kisah Para Kudus. Sejak saat itulah Ia mulai merasakan kehadiran Allah dalam kehidupannya, baik lewat pikiran, perasaan, serta gerak-gerik batin di dalam jiwanya. Dari sinilah Ignatius Loyola mulai mengenali apa yang diarahkan Tuhan dalam hidupnya. Oleh karenanya, setelah sembuh Ignatius Loyola memiliki ketetapan hati untuk melakukan sebuah perjalanan.

Ada beberapa tempat yang disinggahi Ignatius Loyola, yaitu Arasansu dan Monserat. Di Monserat inilah seorang Ignatius berdoa di hadapan patung Bunda Maria serta membulatkan tekadnya untuk berziarah ke Tanah Suci, Yerusalem. Ignatius Loyola menanggalkan kuda, pedang dan baju zirahnya, kemudian menggantinya dengan karung goni untuk memulai peziarahannya sebagai seorang peziarah yang miskin.

Dari Monserat, Ignatius berjalan lagi ke sebuah tempat yang disebut sebagai Manresa. Di tempat inilah Ignatius Loyola mengalami pergumulan atau olah batin yang cukup intens. Allah dia rasakan cukup dekat mendidiknya. Dari Manresa, Ignatius melanjutkan peziarahannya menuju Yerusalem.

Peziarahan Ignatius menuju Yerusalem inilah yang cukup menarik. Ignatius memutuskan untuk berjalan seorang diri tanpa teman. Ignatius juga memutuskan untuk berziarah ke Yerusalem tanpa bekal serta tanpa uang sepeserpun.

Inilah keutamaan Kristiani yang dihidupi dan dihayati oleh Ignatius Loyola dalam perjalanannya menuju Yerusalem. Dalam perjalanannya, Ignatius mengutamakan tiga hal yaitu iman, harapan dan kasih. Bahkan yang sangat mencolok dalam peziarahan tersebut adalah bertumbuhnya iman ataupun kepercayaan Ignatius karena tidak mengandalkan apapun selain Allah semata. Dalam perjalanan tersebut, Ignatius Loyola bersikukuh tanpa mengajak teman, tanpa membawa bekal maupun uang. Dengan demikian, Ignatius Loyola hanya mengandalkan Tuhan Allah di dalam kehidupannya.

Paradoks Dari Perjalanan Hidup

Sering kali untuk sampai pada tujuan peziarahan, terjadi berbagai macam kesulitan, rintangan, maupun hal-hal yang tidak pernah terpikirkan atau terencanakan sebelumnya. Kita seringkali memiliki rencana yang sangat rapi dan sangat detail dalam hidup kita, namun apa yang sudah kita rencanakan tersebut dalam perjalanannya seringkali tidak berjalan mulus sebagaimana yang kita harapkan. Inilah yang disebut sebagai paradoks dari peziarahan hidup.

Perayaan Ekaristi hari ini adalah salah satu contohnya. Tim Pelayanan Liturgi sudah membuat jadwal jauh-jauh hari terkait dengan seluruh pelayanan liturgi di Paroki Santo Yusup Ambarawa, namun dengan merebaknya kembali Pandemi Covid-19 serta semakin banyaknya korban berjatuhan, maka semua yang sudah direncanakan dengan baik dengan detail tidak dapat terlaksana.

Demikianlah peziarahan hidup kita yang ditandai oleh paradoks. Tapi kendati apa yang kita rencanakan dan kita lakukan tersebut tidak berjalan sebagaimana mestinya, kita diajak untuk memiliki keterbukaan hati. Di dalam keterbukaan hati itulah Tuhan menunjukkan kehendakNya. Tuhan menunjukkan kehadiranNya dengan menuntun segala sesuatu yang tidak pernah kita pikirkan sebelumnya.

Siapakah Gerangan Orang Ini Hingga Anginpun Taat KepadaNya?

Bacaan Injil hari ini juga menunjukkan kepada kita, Yesus dan para murid berada dalam sebuah perahu di danau dan akan berencana untuk bertolak ke seberang danau. Namun dalam perjalanan tersebut, angin topan yang sangat dahsyat mengombang-ambingkan perahu mereka, air sampai masuk dan memenuhi perahu tersebut. Para murid begitu panik, begitu ketakutan.

Mereka bertanya kepada Yesus, “Guru, Engkau tidak peduli kalau kita binasa?”

Tuhan Yesus lalu menghardik angin itu, “Diam dan Tenanglah!”

Seketika itu juga, angin dan danau menjadi tenang. Namun demikian, selanjutnya ada pertanyaan yang ditujukan kepada para murid,

“Mengapa kamu begitu takut? Mengapa kamu tidak percaya?”

Pertanyaan serupa sangat relevan ditujukan kepada kita semua saat ini. Di tengah situasi pandemi yang tidak menentu ini, masing-masing dari kita tentu juga dihinggapi rasa ketakutan.

Kita diajak untuk kembali mendengarkan Sabda Tuhan. Bahwa Tuhan hadir menemani kita. Bahwa Tuhan ada di dalam biduk-perahu hidup kita. Tuhan selalu ada dan hadir di tengah-tengah kita. Jika Tuhan hadir, mengapa kita masih juga takut? Jika Tuhan ada bersama kita, mengapa kita tidak percaya? Apakah kita berani mengandalkan Tuhan di dalam perjalanan-peziarahan hidup kita? Apakah kita berani mempercayakan hidup kita, keselamatan keluarga kita, komunitas kita, kepada Tuhan? Tuhan ada. Tuhan hadir. Tuhan peduli. Tuhan tidak tinggal diam atas nasib dan keselamatan kita.

Berkaca pada perjalanan pertobatan Ignatius Loyola yang berjalan ke Yerusalem tanpa teman maupun bekal untuk membangun keutamaan Kristiani, khususnya iman untuk berani mengandalkan Tuhan di dalam kehidupan kita, maka bacaan hari ini juga mengingatkan kepada kita, bahwa di dalam perahu hidup kita, di dalam biduk kita, Tuhan senantiasa ada, hadir dan peduli untuk keselamatan kita. Mari kita berani untuk mempercayakan keselamatan jiwa kita serta keselamatan orang-orang yang kita kasihi kepada Tuhan yang peduli dan memiliki kuasa atas hidup dan mati kita.

Tim Streaming :

FransisCus Aji Santoso

Paulus Indra Purnomo

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *