WARTA IMAM

Kesucian Politik

Politik menuntut kesucian berarti orang beriman perlu terus-menerus mengupayakan perdamaian, di tengah-tengah perjuangan dan konflik, tanpa berpaling kepada tindakan kekerasan meskipun adil dan sah.

Pendidikan politik, yang selayaknya diberikan oleh pengabdi keadilan, mempunyai dasar atau alasan lain, khususnya bagi pengabdi keadilan yang beriman, yaitu kesucian politik. Kata kesucian politik memberi kesan aneh. Sebab, di benak kebanyakan orang, dua kenyataan itu terpisah atau malahan harus terpisah. Apa yang dimaksud dengan istilah “Kesucian Politik”?

Bagi bangsa Indonesia yang menyatakan diri sebagai bangsa yang ber-Ketuhanan Yang Maha Esa, kata kesucian tidaklah asing. Kesucian berarti dipraktekkannya iman akan Tuhan dalam perbuatan atau amal orang terhadap sesamanya. Kata kesucian menunjuk sesuatu, yang baik dalam hubungan manusia dengan Tuhan dan sesama, sebagai yang pantas dimiliki oleh orang beriman.

Kesucian Politik
Kesucian Politik Kaum Beriman

Dalam agama Islam, Idul Fitri berarti “kembali kepada kesucian”. Kaum Muslim kembali kepada fitrahnya, sebagai manusia suci lahir batin tanpa dosa. Idul Fitri didahului oleh masa puasa yang merupakan “aktualisasi rasa kepedulian sosial kaum muslim kepada sesamanya.” (M. Koidin, Idul Fitri, Reaktualisasi Nilai Kepedulian Sosial, Kompas, 12 Maret 1994).

Dalam agama Kristen ditegaskan adanya dua hukum pokok yang tak terpisah, yang menentukan keselamatan seseorang atau mengantar kepada kesucian. “Kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu dan dengan segenap akal budimu, dan kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Im 19:18; bdk Luk 10:27-28).

Politik adalah kegiatan warga masyarakat untuk membuat berbagai macam pranata atau aturan yang mengatur keseluruhan kegiatan masyarakat. Kegiatan polittik sangat berhubungan dengan kegiatan yang bertujuan mewujudkan kesejahteraan umum yang hendak dicapai melalui usaha membuat berbagai macam pranata dan aturan.

Baca juga :

Pengabdi Keadilan dan Rakyat Kecil

Kesucian Hidup Kaum Miskin

Kesucian Menuntut Keterlibatan Politik

Kalau kesucian sangat tergantung dari sikap orang beriman terhadap sesamanya, atau kesucian mengandung kewajiban kepedulian sosial, kegiatan politik mengandung tujuan untuk mengusahakan kesejahteraan umum, maka jelaslah kesucian menuntut keterlibatan politik. Hal ini penting disadari oleg setiap pengabdi keadilan.

Usaha untuk memperoleh kesucian dinyatakan dalam keterlibatan membangun masyarakat yang adil dan berperikemanusiaan. Keterlibatan ini merupakan cinta politik, cinta yang mewujud nyata dalam keterlibatan politik. Cinta tidak hanya harus diwujudkan dalam hubungan personal, hubungan antara pribadi yang satu dengan pribadi lain, tetapi juga diwujudkan dalam membangun tatanan masyarakat yang mengusahakan keadilan sosial, dimana mayoritas masyarakat, yaitu kaum papa mendapat tempat utama.

Agama yang dihayati secara mendalam akan mendorong para penganutnya kepada keterlibatan politik yang memperjuangkan hidup dan hak-hak kaum miskin. Maka, adalah hak dan kewajiban orang beriman untuk terlibat dalam kegiatan politik. Sebab itu, setiap usaha atau strategi pembangunan yang membatasi atau tidak mengakui hak dan kewajiban warga negara untuk terlibat dalam kegiatan politik tidaklah dapat dibenarkan.

Strategi massa mengambang dalam suatu sistem politik, yang hanya memberi peluang keterlibatan politik kepada warga negara dalam sekali lima tahun dalam pemilu – ini pun dengan penuh rekayasa dari pihak penguasa – untuk jangka waktu yang lama, sama sekali tidak dapat dibenarkan. Maka apabila hak warga negara dibatasi untuk sementara waktu, kebebasan haruslah secepat mungkin dipulihkan kembali, apabila keadaan telah berubah lagi.

Berkaitan dengan asas kesucian menuntut keterlibatan politik, sangat penting pendidikan politik dan kewarganegaraan terutama untuk kaum muda. Mereka yang cakap atau yang bisa menjadi cakap harus menyiapkan dirinya bagi seni politik yang sulit, tetapi sekaligus juga sangat indah dan luhur, serta harus berusaha untuk memptraktekkan seni ini tanpa mencari kepentingan-kepentingan sendiri atau keuntungan-keuntungan materiil untuk diri sendiri.

Baca juga :

Pengabdi Keadilan dan Ikatan Primordial

Pengabdi Keadilan, Ikan Dan Kail

Fundamentalisme

Meskipun kesucian orang beriman menuntut keterlibatan politik, tidak berarti dibenarkan adanya fundamentalisme. Mengikuti pandangan Magnis Suseno dalam tulisannya “Iman dan Politik” (dalam Eduard R. Dopo ed., Keprihatinan Sosial Gereja) perlu dibedakan antara keterlibatan politik orang beriman dengan fundamentalisme. Fundamentalisme mempunyai tiga ciri khas.

  1.  Segala-galanya dilihat secara eksklusif dari segi agama. Hanya pertimbangan agama yang diakui. Pertimbangan filosofis, rasional, ilmiah sekuler ditolak.
  2. Bersikap tidak toleran. Yang benar hanyalah pandangan agamanya sendiri. Tidak toleran bukan hanya terhadap pandangan agama lain, tertapi juga terhadap pandangan-pandangan politis, sosial, budaya lain.
  3. Bersifat mutlak dan totaliter.seorang fundamentalis mengklaim kemutlakan Allah sendiri bagi pandangannya. Maka ia menganggap diri tidak dapat keliru dan tidak ada bidang yang dikecualikan dari penguasannya.

Maka, sesuai dengan perlunya dibedakan antara kesucian orang beriman yang harus terlibat dalam kegiatan politik dan fundamentalisme, adalah tepat apa yang digariskan oleh Abdurrahman Wahid tentang bahaya kecenderungan menolak Humanisme Kultural dalam masyarakat, terutama dalam masyarakat yang pluralis dalam hal agama, suku bangsa dan bahasa.

Dalam simposium di kampus III Uniersitas Muhammadiyah Malang 23 Oktober 1993 (Kompas, 25 Oktober 1993), Abdurrahman Wahid melawankan Humanisme Kultural dengan Relatiisme Kultural.Relatiisme Kultural adalah paham yang menekankan nilai Islam menjadi unsur utama kehidupan bangsa Indonesia, bukan hanya panutan kaum muslim. Ia menolak usaha memformalkan nilai Islam sebagai unsur utama kehidupan bangsa. Apalagi, melalui pendekatan legal formalistik, yakni ajaran agama “dilegalisasikan” berlebih-lebihan. Kesucian yang menuntut keterlibatan politik dalam masyarakat – terlebih dalam masyarakat pluralis – harus bertolak dari dan bersumber dari hal-hal yang sudah diatur oleh konstitusi.

Baca juga :

Membangun Paguyuban Kaum Marginal

Konflik Klas dan Perubahan Sosial

Politik Menuntut Kesucian

Kesucian orang beriman yang menuntut keterlibatan politik adalah tetap setia mengikuti tolok ukur segala kegiatan, yaitu menguntungkan orang miskin, lemah, tak berdaya, tertindas. Cinta politis yang harus merupakan cinta murni, bertolok ukur pada pemihakan pada kelompok warga masyarakat yang miskin dan tertindas, bisa memiliki konsekuensi konflik dengan mereka yang sudah mapan dan diuntungkan oleh status quo yang ada.

Cinta politis, yang demikian ini, membuktikan diri sebagai cinta yang besar, tak terbantah, sampai rela untuk menyerahkan nyawanya. Ini berarti keterlibatan politik menuntut kesucian. Dunia atau kegiatan politik mengandung dosa, terutama karena bergumul dengan kekuasaan. Ada keterbatasan dan godaan-godaan yang melekat di dalam kegiatan politik.

Godaan dalam kegiatan politik adalah mengubah pembebasan orang miskin, tertindas menjadi suatu usaha untuk mencapai kemenangan bagi orang beriman yang bersangkutan. Kemenangan bagi diri sendiri menjadi tujuan dan tolok ukur kegiatan politik, dan bukannya pembebasan orang miskin dan tertindas. Kemenangan bagi diri sendiri menjadi terbukti dalam usaha pembebasan penuh agitasi dan tindakan kekerasan.

Politik menuntut kesucian berarti orang beriman perlu terus-menerus mengupayakan perdamaian, di tengah-tengah perjuangan dan konflik, tanpa berpaling kepada tindakan kekerasan meskipun adil dan sah. Perlulah orang beriman tetap memiliki belas kasih agar tidak merelatiir penderitaan orang miskin dan mereduksi penderitaan tersebut sebagai harga atau biaya sosial yang tak terhindarkan. Dan janganlah orang beriman, yang terklibat dalam kegiatan politik, mengesampingkan kemungkinan, meski sulit, untuk pengampunan dan rekonsiliasi.

Politik menuntut kesucian mempunyai implikasi bahwa kesejahteraan umum bukan hanya merupakan undang-undang tertinggi, melainkan adalah alasan sebenarnya bagi adanya kekuasaan negara. Pemerintah bukannya harus memperhatikan kepentingan orang-orang yang menjalankan kekuasaan, melainkan harus memperhatikan kesejahteraan orang-orang yang harus tunduk pada kekuasaan itu.

Pemegang kekuasaan politik atau pemerintah, harus secara khusus memperhatikan perlindungan hak-hak kaum yang lemah dan tak mampu, sebab orang-orang kaya sudah dilindungi oleh kekayaannya sendiri, dan karenanya juga kurang memerlukan perlindungan umum. Sebaliknya, rakyat jelata tidak punya lat-alat sendiri, sehingga menggantungkan diri pada perlindungan negara.

Apabila para penguasa tidak mengakui atau bahkan memperkosa hak-hak manusia, mereka bukan hanya menyeleweng dari kewajiban menreka sendiri, melainkan segala perintah mereka pun sama sekali tidak mengandung nilai iuridis.

Baca juga :

Memerdekakan Kelompok Marginal

Pendidikan Politik

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *