WARTA IMAM

Kesucian Hidup Kaum Miskin

oleh Aloysius Suryawasita, SJ

Bagi para pengabdi keadilan, sangatlah penting untuk menyadari betapa tinggi martabat hidup kaum miskin dan menyadari betapa suci hidup mereka.

Dalam sejarah manusia, fungsi hakim pada awalnya secara ekslusif adalah membantu mereka yang karena kelemahannya tidak dapat membela diri dan tak berdaya menghadapi ancaman dari pihak lain. Konsep hak asasi muncul pada waktu berhadapan dengan hidup orang-orang yang tertindas. Ada kesadaran spontan bahwa situasi ketertindasan itu seharusnya tidak ada. Ada suatu proses dan sekaligus mengandung tautan radikal untuk membela mereka.

Utopia munculnya Ratu Adil menyatakan bahwa keadilan yang ditegakkan Sang Ratu bukan pertama-tama dijatuhkannya putusan pengadilan yang adil, tetapi perlindungan yang ia berikan kepada mereka yang tak berdaya, lemah, miskin, serta para janda dan yatim piatu.

Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Rakyat Kecil

Hak untuk hidup terutama adalah hak kaum miskin, sebab hidup mereka selalu terancam antara hidup dan mati. Mereka sering dijadikan ‘tumbal’ yang tak terbela, serta dianggap sebagai biaya yang wajar demi pertumbuhan ekonomi. Hidup setiap manusia adalah suci, terutama hidup kaum miskin. Mereka selalu mengundang setiap hati nurani yang tulus untuk menolong mereka. Setiap hati nurani yang tulus menilai, bahwa kehidupan kaum miskin tidak sesuai dengan martabat mereka sebagai manusia.

Sehubungan dengan Yang Kudus, Rudolph Otto merumuskannya sebagai misteri yang “tremendum” (menakutkan) dan sekaligus “fascinans” (mempesona).

Bukankah tidak ada yang lebih mengerikan daripada situasi kesengsaraan dan kematian kaum miskin yang menyedihkan yang terjadi setiap hari di dunia ini?

Bukankah tidak ada yang lebih mengerikan daripada situasi kesengsaraan dan kematian kaum miskin yang menyedihkan yang terjadi setiap hari di dunia ini? Lebih lagi kalau menyaksikan akibat perjuangan kaum miskin dalam membebaskan diri dari kemiskinan, yaitu penganiayaan, penggusuran, penghukuman, juga para ibu yang mengungsi dengan membawa anaknya yang sekarat.

Orang dibuat oleh mereka, kaum miskin, untuk memprotes sikap atau pendapat para elite, bahwa pertumbuhan ekonomi tidak dapat dielakkan akan menciptakan ketidaksamaan yang tajam dalam pembagian pendapatan pada tahap-tahap permulaan, bahwa pertumbuhan ekonomi yang membawa kesengsaraan pada kelompok-kelompok berpendapatan rendah tidak dapat dihindari. Juga bahwa penderitaan generasi sekarang merupakan sumbangan langsung bagi kebahagiaan generasi berikutnya, bahwa orang tua selayaknya mengorbankan diri untuk masa depan anak-anak mereka. Sementara itu para elit bersama keluarganya jauh dari ikut merasakan penderitaan yang dialami oleh keluarga-keluarga miskin yang diakibatkan oleh pembangunan ekonomi. Hanya keluarga-keluarga miskin yang diharuskan menanggung beban penderitaan akibat pertumbuhan ekonomi.

Penderitaan generasi sekarang merupakan sumbangan langsung bagi kebahagiaan generasi berikutnya.

Di sisi lain, ada fakta lain yang fascinans, mempesona. Hidup orang miskin itu memukau dan menawan. Bagi orang, tak ada yang lebih menawan daripada senyum anak kecil dari keluarga miskin yang rindu untuk hidup yang lebih baik, organisasi orang-orang miskin baik kecil maupun besar untuk mempertahankan hidup, dan kebanggaan yang mereka tunjukkan sewaktu mereka bertekad memperbaiki hidup mereka sebagai kelompok miskin.

Orang menjadi ngeri bukan hanya karena banyaknya orang miskin di dunia, tetapi juga mereka mengajukan pertanyaan kepada setiap orang, apakah dirinya tidak juga ikut serta membuat mereka sengsara dan menderita. Orang juga terpesona, karena hidup mereka mengundang ajakan baginya untuk bertindak, suatu undangan yang mendesak dan menjanjikan keselamatan. Inilah undangan yang mendesak yang tidak dapat direlatifkan atas nama ideologi apapun.

Hak hidup kaum miskin merupakan hak yang suci dan mereka merupakan mayoritas di bumi ini. Masuk dalam dunia kaum miskin dan mencoba untuk membela hak-hak mereka merupakan tindakan perwujudan kesucian.

Bahkan, dapat dikatakan orang yang sungguh membela hak-hak kaum miskin akan mengalami dan menemukan kehadiran Yang Kudus. Inilah tugas suci kaum beriman, khususnya pengabdi keadilan. Yang Kudus akan ditemukan oleh kaum beriman dalam tindakannya membela hidup kaum miskin.

Tugas atau tuntutan membela kaum miskin bukanlah sekedar salah satu tuntutan dari banyak tuntutan, melainkan adalah tuntutan yang primer, tuntutan yang fundamental. Membela kaum miskin merupakan tuntutan primer dari hidup moral manusia.

Membela kaum miskin juga merupakan suatu perjuangan. Membela hidup kaum miskin itu lebih daripada membebaskan mereka dari kematian. Membela mereka berarti aktif berjuang menghadapi kematian. Mengapa membela kaum miskin merupakan perjuangan? Karena ancaman terhadap hidup kaum miskin bukan hanya berasal dari daya-daya alami saja.

Orang yang membela kaum miskin akan bergumul dengan sumber ancaman hidup kaum miskin, yaitu kuasa penindasan.

Sebagai konsekuensinya, ia akan mengorbankan hidupnya, sebab kuasa penindasan itu selalu menuntut adanya korban-korban sebagai makanannya.

Maka, membela orang miskin berarti mempertahankan hidup, dan banyak orang atau kelompok telah rela mempertaruhkan hidup mereka. Mereka meyakini bahwa dengan berbuat itu, mereka akan menemukan kehidupan sejati. Dalam arti ini, mereka menunjukkan adanya sesuatu yang “tremendum” (mencengkamkan) dan sesuatu yang “fascinans” yaitu sesuatu yang menarik dan yang membawa mereka kepada penyerahan hidup yang mereka yakini sebagai jalan satu-satunya kepada kepenuhan hidup atau keselamatan. Mereka mengalami dan menghadapi penganiayaan. Membela kehidupan orang miskin menuntut mereka untuk mempertahankan hidup mereka, sebagai bukti solidaritas yang tak terbantahkan.

Teis dan Ateis

Sering dibedakan antara teis teoritis, teis praktis, ateis teoritis, dan ateis praktis. Sikap orang terhadap kaum miskinlah yang merupakan tolok ukur pembedaan itu. Seorang teis teoritis adalah orang yang mengaku beriman pada Allah, Yang Kudus. Seorang theis praktis adalah orang yang berbuat nyata untuk kepentingan yang miskin.

Seorang ateis teoritis adalah orang yang menyatakan tidak percaya akan Allah. Sedangkan seorang ateis praktis adalah orang yang berbuat tidak adil atau menindas kaum miskin.

Ada kemungkinan bahwa seseorang itu adalah teis-teoritis maupun teis praktis. Juga ada kemungkinan seseorang itu adalah teis teoritis tetapi senyatanya adalah seorang ateis praktis. Kemungkinan lain, seseorang adalah ateis teoritis ataupun ateis praktis. Orang ini mengakui tidak percaya akan Allah dan menindas kaum miskin.

Akhirnya ada orang, meskipun ateis teoritis, namun adalah seorang teis praktis. Orang ini mengakui tidak percaya kepada Allah, namun membela kepentingan kaum miskin.

Dialog antara umat beragama perlulah diarahkan dalam rangka menemukan bersama-sama Allah, Yang Kudus, “fascinans”, yang hadir terutama dalam kehidupan kaum miskin. Sebaliknya, adalah sangat ironis kalau umat beragama malahan tidak jarang saling bertengkar, menganggap orang-orang yang memeluk agama lain sebagai musuh, dan menganggap pembunuhan terhadap lawan sebagai tugas yang suci. Agama dipakai untuk mengesahkan perbuatan kekerasan atau pembunuhan terhadap sesama.

Perjuangan Tanpa Kekerasan

Pengabdi keadilan haruslah menyadari bahwa kesengsaraan kaum miskin hanya dapat dihapus langkah demi langkah. Kesengsaraan manusia tidak pernah dapat diatasi secara tuntas dan penuh. Malahan, harus disadari bahwa meskipun beritikad baik, usaha-usaha serta tindakan-tindakan pengabdi keadilan tidak jarang secara tak terduga melahirkan kesengsaraan dalam bentuk baru.

Ini tidak berarti dalam menolong orang miskin, pengabdi keadilan lalu tidak perlu bersungguh-sungguh.

Sebaliknya, dituntut perlunya ketekunan, usaha terus-menerus yang menuntut kesabaran. Dalam kesadaran inilah, perjuangan memerdekakan kaum miskin harus dalam bentuk perjuangan tanpa kekerasan. Perjuangan tanpa kekerasan ini dilandasi oleh kesadaran bahwa kehidupan setiap orang itu suci.

Apalagi, sejarah telah mencatat bahwa perjuangan dengan kekerasan tidak jarang membawa serta kesengsaraan yang lebih besar pada kaum miskin. Perubahan sosial harus cermat, penuh perhitungan untuk mengelakkan penderitaan manusia yang lebih besar.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, 12 Desember 1994.

Advertisements
Advertisements

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *