POJOK

CINTA ITU MATI

“Cinta itu mati bro… bukan cinta mati atau bahkan cinta setengah mati dan cinta sampe mati!!”

***

Langit yang mulai meredup cepat, membawa langkahku ke teras rumah ini kembali. Baskara sang pemilik rumah pasti sudah menyiapkan secangkir coklat panas untukku dan secangkir kopi pahit untuknya. Ia menantikan saat-saat seperti ini, seperti juga diriku. Di usia-usia 30 hingga 40 an ini, jika dua orang sahabat berkumpul serasa membuka rahasia dunia satu persatu, hingga mendapatkan sesuatu yang kadang pantas ditertawakan.

“Gimana istri Lo?” tanyaku membuka percakapan sambil menumpangkan kakiku di kursi di tembok pagar depan teras yang berisi bunga-bunga.

“Hari ini operasi….” jawab Baskara lirih.

“Lemes kali bro… kenapa elo nggak setegar kemaren? Yakin di otak gue, kemaren-kemaren bagi gue elo nggak masuk akal bisa setenang itu, setegar itu, sekuat itu ngadepin istri elo yang lagi sakit serius ginian…!!” mulai deh aku nerocos sesuka hati. Dia sahabatku.. dia nggak bakal marah aku ngomong apa saja,” Elo takut?”

“Engg…enggak…  “Jawab Baskara,” Eh iya…”

“Elo nggak bisa mikir lagi?”

“Em..iya…. “ Baskara semakin tertunduk.

“Elo nggak tau mesti berdoa seperti apa…”

“Iya…..,” jawab Baskoro datar…

“Elo mati bro!!,” kataku lebih tegas yang membuat Baskara terhenyak dan menatapku tajam.

“Maksudmu?” tanya Baskara dengan wajah serius.

“Elo lupa? Elo nggak sadar? Gue pernah ngalamin semua yang elo alami hari ini bro!! Gue pernah ngrawat istri gue yang sakit sampe dia meninggal!!”

“Aku tau.. aku inget!”

“So, Gue pernah mati!”

“Bro.. bisakah saat ini kamu permudah kata-katamu?” kata Baskara lirih kembali.

“Hahahahaha… iya ya.. biasanya yang punya diksi-diksi susah itu adalah elo…. hahahaha… sang penerima penghargaan dosen terbaik… hahahaha”

“Sial kau !!” kata Baskara lirih sambil tersenyum dan menyeruput kopi pahitnya.

Beberapa saat semua terdiam… Menikmati semilir angin malam di cuaca mendung saat itu.

“Elo di rumah saja sedari tadi?” pertanyaanku mengira-ngira, karena di musim pandemi ini tidak boleh lebih dari satu orang kelurga yang menjaga pasien di rumah sakit. Dan mertua Baskara biasa yang ingin menunggui istrinya.

“Enggak. Jam 5 pagi aku ke Rumah sakit?”

“Ngapain”

“Mengantar berkas-berkas istriku.”

“Setelah semalaman ngobrol denganku? Pagi-pagi benar elo pergi kerumah sakit? Nyetir sendiri? Nggak bisa siangan dikit sehingga elo bisa tidur sebentar? Toh dokter juga datang jam 10.00 an.” Protesku.

“Ngak tau..”

Hah? Jawaban macam apa pikirku,”Lumayan jauh bro Rumah Sakit Central dari sini. Elo bisa celaka! Kamu nggak apa-apa?”

“Seperti kamu liat,”

“Itulah cinta… cinta itu mati, saat kamu tidak bisa berpikir lagi, tubuh kita hanya bergerak seperti robot, hanya cinta yang bisa menggerakkan, tidak ada pikiran… semua putih tanpa rasa…,”

“Em….. hahahahhaha,” baskara tertawa kecil.

“Elo tertawa?”

“Tumben kamu ngomongin cinta,” kelakar Baskara.

“Gea serius! Keadaan Elo adalah nostalgia buat gue!!”

“Paham.. paham.. jangan emosi dong!” Kelakar Baskara lagi,” Nanda, anakku yang nomer satu, harus kost di luar kota karena kuliah disana. Dua hari setelah masuk kost, kita dibuat panik semua. Dia bilang sakit, pusing-pusing, bahkan kulitnya gatal-gatal. Sakit apa seperti itu kami pikir. Tanpa berpikir lebih lama aku setir mobil dan pergi kost Nanda bersama istriku. Sampai di kost, aku langsung bawa Nanda dan masukkan ke Rumah Sakit terdekat. Dokter tidak bilang sakit apa-apa.”

“Terus Elo tanya nanda?”

“Iya dan kami terdiam. Baru di kamar aku dan istriku tertawa kencang.”

“Maksud Lo?” tanyaku heran.

“Nanda bilang, hanya kangen rumah. 2 hari di kost terasa lama… hahahahahaha… baru 2 hari!!” Kata Baskoro sambil tertawa. Akupun ikut tertawa,” Aku mati saat itu!”

“Elo emang dosen yang cerdas. Betul itulah kematian… itulah cinta..,” kataku,” Kematian yang indah setelahnya. Senyum, ketawa kencang, banar-benar ada kehidupan yang hidup setelahnya.”

Kami melanjutkan kelakar-kelakar dengan sesekali tertawa kencang. Malam-malam seperti ini benar-benar menjadi malam kami setelah seharian bekerja.

“Kapan kamu nikah lagi?”

“Pertanyaan elo yang keberapa?”

“Seratus, duaratus duapuluh.. empat ratus mungkin… aku nggak itung!”

“Gua bisa kawinin  cewek-cewek di kota ini sejumlah pertanyaan elo buat gua. Tapi yang terjadi, itu pelarian bukan kematian bro,” jawabku sok diplomatis,”Yang perlu kita kasihani saat ini adalah Yesus.”

“Maksudmu!?” tanya Baskoro agak kencang dan terhenyak dari duduknya.

“Sebegitu bear cintaNya buat kita hingga Dia rela mati jiwa dan raga bro. Kita memang terlalu bebal!! Seandainya dengan kata-kata para Nabi saja kita bisa mendengar, telinga kita bolong untuk mencintaNya secara tulus!! Dia mungkin nggak perlu mati di Salib!! Bahkan kita baru bisa menemukan arti cinta lewat duka istri-istri kita.”

“Cinta itu mati” kata Baskoro datar.

“Cinta itu mati, tapi ada kebangkitan setelahnya… Jangan takut kawan… lewatilah! Kebangkitan yang indah untukmu kedepan bersama istri dan anakmu”

Malam semakin larut. Gelas kopi dan coklat di teras itu hampir habis. Saatnya aku pulang dan melanjutkan hidup lagi esok hari.

Happy Valentine!!

:untuk sahabatku yang selalu menulis aku. Ijinkan aku menulis kamu.

Advertisements
Advertisements

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *