WARTA IMAM

Pengabdi Keadilan, Ikan Dan Kail

oleh Aloysius Suryawasita, SJ

Perumpamaan tentang “ikan” dan “kail” sudah terlalu sering kita dengar ketika orang bicara mengenai pelayanan kepada orang kecil. Memberikan ikan adalah pelayanan darurat. Pelayanan seperti itu tetap dibenarkan untuk diberikan kepada kelompok masyarakat miskin dalam keadaan mendesak. Misalnya, mendadak ada musibah bencana alam atau kebakaran. Adalah tidak etis ketika seorang pengabdi keadilan yang memegang prinsip memberi “kail” didatangi oleh seseorang yang hampir mati kelaparan, lalu menolaknya : “Sana pergi, saya hanya memberi kail dan bukan ikan.”

Memang prinsip “lebih baik memberi kail” adalah penting, agar pengabdi keadilan tidak puas dan merasa bangga dengan memberikan pelayanan darurat, sampai tidak tahu tentang pelayanan sosial lainnya yang mendewasakan. Kecuali itu, “memberi kail” akan membuat kelompok masyarakat yang dilayani semakin mandiri dan tidak terlalu bergantung pada bantuan orang lain.

“Kail” Dan “Pukat Harimau”

Sekali lagi, kalau diibaratkan kelompok warga masyarakat yang miskin sebagai nelayan, pemberian “kail” bagi mereka pun menurut hemat kami tidak mencukupi. Sebab, ada pukat harimau atau teknologi canggih penangkap ikan yang tidak dapat disaingi oleh pemilik kail. Maka tidaklah cukup memberikan kail saja, tetapi perlulah mengumpulkan mereka sebagai satu kelompok kepentingan yang terorganisir sehingga bisa bersaing dengan para pemilik pukat harimau.

Pengabdi Keadilan, Ikan Dan Kail

Dengan kata lain, seorang pengabdi keadilan dalam melayani rakyat kecil harus membantu mereka sedemikian rupa, sehingga rakyat kecil dapat berhasil menghimpun diri bersama rekan-rekan senasib, membentuk organisasi yang memperjuangkan kebutuhan dan kepentingan mereka. Pelayanan yang diberikan kepada individu-individu tidak akan banyak membantu, bahkan membuat para pemilik pukat harimau tetap dalam kedudukan yang kuat, tak tergoyahkan dalam persaingan.

Tulisan ini mau mencoba menjelaskan, bagaimana seorang pengabdi keadilan dapat membantu rakyat kecil untuk akhirnya mempunyai organisasi. Satu hal yang harus tetap disadari oleh pengabdi keadilan ialah bahwa pelayanannya harus diberikan kepada kelompok, bahkan kelompok yang homogen, sehingga akan lebih memudahkan terbentuknya satu organisasi.

Baca juga : Keadilan Dan Rakyat Kecil

Dinamika Kelompok

Kalau pelayanan pengabdi keadilan kepada rakyat kecil harus menuju kepada lahirnya organisasi rakyat kecil yang kuat, maka seorang pengabdi keadilan harus memiliki pengetahuan dan ketrampilan tentang dinamika kelompok.

Ada tahap-tahap perkembangan kelompok. Tahap pertama adalah berkumpulnya masing-masing anggota untuk pertama kalinya, kemudian saling berkenalan di antara mereka. Tahap kedua adalah mulai timbulnya perasaan kelompok. Tahap ketiga, mereka mulai menyusun program dan organisasi. Tahap keempat, ikatan kelompok semakin berkembang, tujuan yang hendak dicapai semakin jelas dilihat, sementara keakraban antara para anggota kelompok semakin besar. Tahap kelima, sementara perasaan kelompok semakin kuat, mereka mulai berhasil mencapai tujuan-tujuan mereka, baik tujuan sementara maupun tujuan akhir.

Harus disadari adanya perkembangan lain dalam dinamika kelompok, yaitu kemungkinan timbulnya kemunduran, bahkan sampai bubarnya kelompok. Justru karena ada kemungkinan gagal, maka pengabdi keadilan harus cukup terlatih dalam membantu rakyat kecil hidup dan bekerja sama dalam kelompok serta mempertahankan eksistensi kelompok.

Baca juga : Kesucian Hidup Kaum Miskin

Kerekatan Antar Anggota

Pertama-tama pengabdi keadilan harus membantu rakyat kecil yang berkepentingan untuk menyadari bahwa perbaikan kehidupan sosial ekonomi mereka dapat tercapai hanya dalam kerja sama dengan orang lain melalui kelompok. Kecuali itu, para anggota kelompok ditolong untuk yakin bahwa dalam proses kehidupan dan aktivitas kelompok, kegiatan-kegiatan dalam kelompok sungguh telah dan akan tetap dapat memperbaiki keadaan sosial ekonomi mereka.

Untuk itu, pertama-tama penting bahwa setiap anggota merasa kerasan dalam kelompok. Supaya kerasan, pengabdi keadilan harus memperhatikan jalannya komunikasi antar anggota. Seberapa jauhkan masing-masing anggota saling mengenal satu sama lain, dan seberapa jauh mereka semakin mampu dengan jelas mengemukakan pikiran dan perasaan mereka. Sering terjadi dalam kehidupan kelompok, ada satu dua anggota yang begitu menonjol dan menguasai kelompok. Sebaliknya, banyak anggota yang diam, untuk bicara harus dipaksa-paksa.

Bila keadaan itu yang terjadi, maka harus diubah, sebab pembentukan kelompok dimaksudkan agar orang kecil terlatih berpartisipasi dalam proses setiap pengambilan keputusan, pertama-tama dalam tingkat mikro. Demi peningkatan partisipasi, para anggota harus dibantu meningkatkan kemampuannya untuk mengemukakan pendapat dan pikirannya serta untuk berkomunikasi. Inilah yang dimaksud dengan pendidikan ekspresi.

Pendidikan ekspresi, seperti juga pendidikan di bidang-bidang lain, untuk rakyat kecil disesuaikan dengan tujuan. Agar mereka semakin mampu berpartisipasi, haruslah bersifat partisipasif. Dalam hal ini perlu dibedakan antara pendidikan dengan pendekatan informatif dan pendidikan dengan pendekatan partisipasif.

Dalam pendidikan dengan pendekatan informatif, program yang diberikan semata-mata untuk memberikan informasi kepada peserta didik, dan hanya sedikit memperhitungkan pengalaman peserta didik. Program semacam ini biasanya mengetengahkan sejumlah pembicara atau ahli dalam berbagai bidang. Bentuk kongkritnya adalah semacam kuliah.

Sebaliknya, program pendidikan dengan pendekatan partisipasif percaya bahwa peserta didik sendiri merupakan sumber daya utama. Pengetahuan, pengalaman, dan bakat kemampuan mereka dapat digunakan secara efektif untuk pendidikan mereka. Dalam pendekatan ini, pembimbing menyadari bahwa program pendidikan merupakan suasana belajar. Para peserta didik dan pembimbing dapat saling belajar satu sama lain.

Pendekatan ini menuntut keterlibatan dan partisipasi peserta didik. Pengetahuan dan pengalaman peserta didik merupakan sumber daya pendidikan bagi mereka. Para peserta didik saling belajar dari pengalaman yang lain, juga dari para pembimbing. Para pembimbing pun ikut belajar. Dalam hal ini, pembimbing lebih berperan sebagai koordinator dan pembuat sintese.

Sehubungan dengan pendidikan ekspresi, pernah kami menghadiri suatu pertemuan kelompok. Setiap peserta didik, sesudah dibantu dengan pemberian kredit usaha, diminta oleh pembimbing untuk menceritakan pengalaman mereka dalam memanfaatkan kredit usaha. Satu per satu mereka mulai bicara di depan kelompok. Berbicara di depan kelompok ternyata tidak mudah. Tetapi karena yang diceritakan adalah pengalaman kongkrit mereka, para peserta didik lebih mudah bercerita.

Juga dalam pendidikan ekspresi, mereka akan lebih mudah terbantu kalau diadakan permainan. Ada bermacam-macam permainan untuk pendidikan ekspresi. Bukan maksud tulisan ini untuk menyebutkan dan menerangkan berbagai macam permainan untuk pendidikan ekspresi diri.

Kerekatan antara para anggota atau kelangsungan hidup kelompok juga tergantung dari tujuan atau kepentingan para anggota. Kalau tujuan dan kepentingan para anggota kurang lebih sama, maka kelangsungan hidup kelompok dapat terjamin. Sebaliknya, kalau tujuan dan kepentingan anggota kelompok kompetitif sifatnya, maka keretakan dalam kelompok akan mudah terjadi. Inilah sebabnya, kelompok harus homogen.

Akhirnya, kelangsungan hidup kelompok juga tergantung dari tercapainya tujuan. Ada tujuan jangka pendek, ada tujuan jangka panjang. Kalau jangka pendek, yang sebaiknya adalah tujuan perbaikan sosial ekonomi para anggota, dirasakan oleh para anggota tercapai, maka kelangsungan hidup kelompok akan terjamin.

Baca juga : Pengabdi Keadilan Dan Ikatan Primordial

Kultur Kelompok

Bila kehidupan kelompok sudah cukup lama, berarti para anggota sudah cukup mempunyai pengalaman untuk saling berinteraksi. Diharapkan akan lahir kultur kelompok. Kultur kelompok adalah nilai-nilai, harapan-harapan, kaidah-kaidah yang dihayati oleh para anggota. Kultur ini akan mengatur interaksi antara para anggota, menentukan peranan berbagai anggota, yakni kegiatan, hak dan kewajiban. Kultur ini juga akan menentukan apa yang patut diinginkan, apa yang dapat diterima, dan apa yang tidak dapat diterima, menentukan juga sangsi-sangsi yang positif maupun yang negatif.

Sehubungan dengan kelompok rakyat kecil, harus diusahakan berkembangnya kultur yang menjunjung tinggi azas demokrasi, partisipasi, solidaritas sosial dan kesamarataan.

Diharapkan, dalam proses kehidupan kelompok, akan terjadi perubahan-perubahan yang menyangkut sikap dan tingkah laku yang mengiringi perubahan sistem nilai mereka.

Tulisan ini pernah dimuat di Harian Kompas, 25 Mei 1988.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *